Aku bukan seorang yang mudah jatuh
cinta pada nakhluk adam namun aku akhirnya jatuh juga. Enam belas tahun
menyimpan pertanyaan, dan akhirnya aku menemukan jawabannya. Ini bukan tentang
jodoh atau tentang janji selamanya. Ini hanya perasaan yang lebih dari suka,
hanya peduli yang lebih dari teman, hanya tatapan hangat yang berarti, hanya
kehadiran yang membuatku ingin dan inginkan dirinya lebih dari apapun. Namun,
aku lalu menyadarkan diriku. Terlalu cepatkah semua ini terjadi?
Segala keindahan turun bersama
dirinya. Ditatapnya seakan menembus hati. Seakan dia membaca hatiku yang
terdalam , mendapati diriku tidak berdaya tersudut bersama perasaan yang
memalukan ini.
Ini mudah aku hanya perlu kembali di
masa saat aku baik baik tanpa dia. Hindar kan aku darinya. Seandainya aku bisa
melupakannya, namun sedetikpun dia tidak bisa keluar dari hati dan pikiranku.
Demi Tuhan, apa yang terjadi?
Namun melupakannya membuatku merasa
kehilangan yang ada aku justru tersiksa merindukannya.
Namun tanpa dia aku tidak akan baik
baik saja. Justru aku semakin tersiksa di buatnya.
Aku tidak bisa melakukan apapun.
Segalanya terasa salah. Aku tidak bisa berhenti memikirkannya. Sial, sial,
sial!
Aku tidak pernah merasa sebenar ini,
sebenar saat ia berkata tidak akan
membiarkanku terjatuh. Aku tidak tahu arti makna kata itu untuknya, yang pasti
aku memamknai kalimat yang keluar dari mulutnya sendiri itu sangat dalam dan
terukir dalam di benakku.
Enam belas tahun memahami cinta itu
apa dan sekarang tatapan itu, kehadiran itu selama beberapa minggu membuatku
kepayang di buatnya. Apa sepadan?
Semakin hari menginginkannnya lebih
dan lebih. Dan lagi, tedapat tapi dalam asaku. Kecukupan itu, aku harus
bertahan di dalamnya. Menarik diriku jauh jauh dari perasaan yang meneggelamkan
itu.
Ya benar.
Aku takut. Aku takut jatuh dan aku
takut sakit. Sakit hati yang orang orang bilang lebih sakit dari sayatan
pedang. Aku tertawa saat mendengar ucapan itu untuk petama kali, namun kalimat
itu tengiang di kepalaku seakan menghantuiku, membuatku penasaran akan sakit
hati yang banyak orang katakan.
Keputusan yang aku buat justru
membuatku ragu. Aku tidak akan mengatakan suka, tidak akan memintanya berada
disisiku, tidak akan membebaninya dengana perasaanku. Terkadang aku ingin
menangis merasakannya, tidak berdaya di dalam ketidak mampuanku. Terkadang aku
ingin tersenyum sepanjang hari begitu bahagia merasakan nyamannya kehadirannya
dan hangatnya tatapan itu. Dan sering aku menemukan diriku sendiri dalam
khayalan yang memabukkan.
Lidahku kelu mengakuinya. Pertanyaan
itu menyergapku, merasuk dalam hatiku. Mampukah aku tanpanya? Tidak merasakan
kehadirannya, jika nanti dia jauh di sana, bagaimana denganku? Bisa kah aku
hidup tanpanya.
Atau kah persaan ini bukan hanya
suka, bukah hanya cinta pertama, namun cinta sejati?
Hidup ini tentang pilihan. Membuat
suatu keputusan dan menerima konsekuensinya.
Aku menata masa depanku. Aku akan
begini, aku akan begitu, dan selanjutnya seperti itu. Dan bagaimana jika semua
terjadi di luar kendali? Aku tidak pernah merencanakan akan jatuh cinta. Tapi
dia telah datang. Duniaku berhenti berputar sesaat, aku tidak lagi menapak di
tanah ini dan gravitasi menolakku untuk berada di bumi, aku melayang bersama
perasaanku. Melayang jauh tinggi dan aku menunggu saat aku terjatuh terhempas
bersama hatiku.
Aku tidak mau. Bahkan untuk
membayangkannya membuatku enggan. Sesakit apakah saat itu? Aku tidak mau jatuh
cinta, tapi aku telah terlanjur tenggelam. Tolong aku, siapapun!
Rasanya sesak saat dia berada
disisku, separuh bagian dari diriku berjuang melawan kehadiran raga itu , dan
sebagiannya lagi merasa lega raga itu ada di dekatku. Lalu bagaimana?
Pernah aku berpikir tentang
bagaimana hubungan ini berlanjut dan saat aku bertemu dengannya semua rencana
itu berantakan. Aku tidak bisa melakukan apapun, bahkan mengucapkan namanya.
Betapa perasaan ini membodohiku.
Ini lebih rumit. Aku dan orang
tuaku, aku dan dia, dia dan orang tuaku. Ini adalah hidupku. Hal yang aku sebut
kepercayaan dan Tuhan. Aku tidak akan menentang orang tuaku dan kepercayaan
yang aku hidup dengannya sepanjang aku bernafas sampai detik ini dan masa yang
akan datang.
Hanya seperti ini? Sudah selesai
kah?
Belum.
Nuraniku meronta menginginkannya,
namun merelakan adalah hal yang bisa aku coba lakukan. Aku tidak akan merusak
masa depanku hanya karena dia. HANYA? Dia
bukan hanya HANYA. Dia terasa segalanya bagiku. Namun dia terlalu mudah
untuk menjadi alasan hidupku. Seberharga itu kah dia?
Aku tidak tahu. Aku tidak berani
mengatakan “iya” atau “tidak”. Berbohong dan jujur terasa sama sama pahit saat
ini.
Mereka bilang tidak apa-apa. Tapi
ini aku, aku yang mengambil keputusan dan yang menjalani. Orang orang itu hanya
membuat kalimat untukku saja dan tidak membayar kesalahan bersamaku jika aku
salah bahkan jika aku terjatuh mereka masih berdiri di sana tertawa menikmati
damainya hidup mereka. Jadi, sekali lagi. Ini hidupku.
Aku telah belajar. Mempelajari
kesalahanku. Mempercayai mereka dan menaruh harapan pada pundak seseorang. Dan
“tidak”, aku tidak akan melakukannya lagi. Lebih baik melakukannya sendiri dan
gagal. Hal itu berkali kali lipat lebih baik dari pada mereka menghancurkan
kepercayaanku dan menginjak harapanku.
Cinta pertama, remaja, aturan, orang
orang, sekolah, rumah, dan Tuhan.
Dia. Aku bisa memimpikannya selama
semusim hanya karena dia mengucapkan namaku, hanya karena dia melemparkan
senyum, hanya karena dia menatapku dengan cara itu, hanya karena aku
merindukannya.
Aku merindukanya, dan sering
terjadi.
Aku tidak akan berteriak meminta
Tuhan membuatnya jadi milikku. Itu tidak akan mengubah apapun. Aku memiliki
kepercayaan. Jika dia adalah takdirku, dia akan kembali padaku entah berapa
lama aku menunggu, entah dimana aku berada, entah apapun yang terjadi. Namun
jika pun tidak, Tuhan telah menggariskan hal yang ribuan kali lebih baik dari
tidak. Ya walau meski sampai sekarang aku berpikir dia adalah satu dan satu
satunya. Tidak terganti.
Aku memiliki kepecayaan, tapi aku
tidak memiliki keberanian.
Aku bodoh. Aku tahu.
Mengenalmu, memahami sehari hari.
Ini adalah pemujaan, pengagguman. Menyikasaku untuk menahan rasa yang nyaris
tumpah ini sendirian. Semakin hari rindu ini menggebu, rasa ini merasuk makin
dalam dan dalam.
Aku tidak bisa bilang, aku tidak
akan berjanji aku tanpamu.
Seakan melodi dalam musikku.
Sepi saat tidak ada dirimu, hampa
dan aku hanya bisa diam. Hati itu tidak tersentuh, namun hasrat ku ini makin
menggila. Teteskan lara. Kala hati itu di miliku seorang yang lain, mungkin itu
akan membunuh diriku. Mungkin aku sudah tidak bisa jauh cinta lagi. Semua
bagian dariku telah habis untuk mencintainya. Aku tidak memiliki apapun lagi.
Bahkan untuk mencinta seorang yang lain.
Seharusnya ini menjadi kisah yang
indah.
Bukankah terlalu cepat untuk
mengatakan hal yang jauh itu? Ya memang, dan aku telah melakukannya. Aku sudah
memikirkannya, memaknani setia bayangnya yang mengisi relungku ini.
Kami berada di polar yang berbeda. Perih
ini menghujam jantungku, perasaan ini mematikan warna dalam kasihku. Ini
seharusnya milik kita berdua, namun ini hanya milikku karena kau tidak
menginkanku.
Cinta pertama
Apa yang bisa aku lakukan?
Tidak ada.
No comments:
Post a Comment
Coment